Menasehati Kawan yang Kebelet Nikah

 


Dalam suasan takzim mengaji ngopi, saya dan keempat kawan sedang curhat-curhatan tentang rencana salah satu dari kami untuk menikah, dalam jangka waktu dekat. Berita ini sontak jadi bahasan yang serius karena ke depan otomatis akan mempengaruhi kebiasaan ngopi kami berempat, yaa saya selaku perempuan sendiri mewakili suara calon kawan saya tadi. Kalau ditinjau dari pengalaman saya memang tidak pernah pacaran, tetapi berdasarkan penelitian dari hubungan banyak teman saya lumayan bisa untuk menasehati, sedikit tahu. 

Begini awalnya, beberapa pertanyaan saya ajukan padanya. Tetapi, hla kok saya tidak mendapatkan jawaban yang sesuai. Si kawan saya tadi menjelaskan dengan mbulet dan selalu diakhiri dengan "Yhaa kan bisa dipikir sambil jalan, jadi kalo ada masalah bisa diselesaikan dengan cari solusi barengan" - Begini bambang ((eh,  nama samaran)), kalau memang selagi bisa diobrolkan sebelum menikah kenapa nunggu nikah dulu. Ia tetap keukeuh seperti ayam betina yang  kebelet bertelur, berkokok hingga membuat bising tetangga.  Memang menasehati itu juga butuh bukti, dia meragukan saya dengan alasan kurangnya pengalaman berpacaran. Tapi sepertinya itu tidak jadi objek yang semestinya dijadikan alasan. Justru ia yang sudah mengalami serta merasakan nyaman mana hubungan pacaran yang diiringi ngobrol-ngobrol atau yang kalo ada masalah baru ngomong. 

Hmmmmmm.... 

Namanya juga kebelet, mau dikasi saran atau masukan ya ndak bakalan masuk wis.  Tetapi sebagai seorang sobat karib, saya terus berusaha agar rasa kebelet nikahnya menghasilkan mutu. Dimana rasa kebelet itu sebanding dengan apa yang sudah dia persiapkan. Semisal dengan sederhana saling ngobrol hal-hal yang akan ditempuh sebelum pernikahan berlangsung. Saya cuma tidak rela jika nanti *amit-amit* keluarganya tidak bertahan lama disebabkan hal-hal yang sebenarnya bisa direncanakan di awal. Sebagai perempuan saya sering mengajak mereka memahami pandangan dari sisi perempuan yang jarang mereka ketahui. Hak-hak apa saja yang semestinya dipenuhi dalam pernikahan, mengobrolkan pernikahan orang-orang terdekat dan mengambil hikmahnya. 

Meski terus berhadapan dengan perdebatan, mengobrol soal menikah memang tidak ada habisnya. Kami berempat terus mengobrol sana-sini dengan bahasan "Jangan sampai kebelet nikah memecahkan kita bersama" . Pertanyaan yang bisa diobrolkan bisa tentang kebiasaan sebelum menikah. Kalau memang sebelumnya senang ngopi dengan sobat karib, apakah setelah nikah bisa saling percaya saat pasangan pamit keluar sama sobatnya? Atau boleh saling ngopi dengan mengajak pasangan? Ajuan pertanyaan ini besar pengaruhnya bagi kelanggengan persahabatan kami. Sebab, jika tidak diobrolkan nanti setelah nikah justru kaget ketemu kawan-kawannya sepertinya saya yang doyan kopi plus ngomong nyablak. Setidaknya perlu diberi penjelasan juga sudah lumayan cukup, bahwa di luar hubungan pacaran punya jalinan persahabatan bersama. 

Saya seringpula menyarankan kawan saya tadi untuk membawa calonnya atau pacar mereka, agar ngopi yang biasa kami lakukan tidak sekadar ngopi. Tetapi juga ngopi ya ngobrol pintar, saling tahu menahu keadaan kawan satu sama lain, tidak selinthuthan untuk sekadar ngopi. Nasehat yang saya kerap paparkan juga seputar kesepakatan mengenai ekonomi, rencana pola asuh anak, dan jumlah anak dsb. Saya belajar dari keluarga sendiri, bahwa kesepakatan itu penting jauh-jauh hari direncanakan. Sehingga kebelet nikah  juga bisa berakhir sakinah, mawaddah, dan warohmah. Namun, saat berbagai pesan tadi sudah saya sampaikan dan si kawan manggut-manggut saja. Yha ndak papa, toh namannya juga kebelet nikah. Kalau sudah dikandani ndilalah tidak menggubris ya apa boleh buat, bambang.

You Might Also Like

0 komentar

Tentang Batas Teduh di Kota Malang

Photo By IG @anaafitt Sabtu (27/7) berkesempatan untuk mampir dan melipir ke salah satu kafe di Malang. Namanya cukup unik memang, pe...