Jadi orang biasa juga tidak apa-apa, Dik.




Hari ini, adik sulung saya menerima hasil ujian berbasis komputer yang sudah ia lakoni sebulan yang lalu. Perasaan penasaran justru saya rasakan semenjak dua hari lalu, saat pertama kali pengumuman nilai unbk dirilis. Sembari memanfaatkan waktu luang kuliah, saya coba cari informasi dari beberapa kawan guru di tingkat SMP Kabupaten. Beberapa jam menunggu, sebuah file excel data hasil unbk sekabupaten Blitar saya dapatkan. Dengan perasaan antusias, nama adik saya muncul berada dalam urutan dibawah rata-rata nilai unbk.

Awalnya, saya sudah menduga. Sebab sedari awal, adik selalu mengatakan bahwa ia tidak begitu senang dengan beberapa mata pelajaran yang diuji. Saya mencoba memahami adik dengan perasaan welas asih yang mungkin tak akan didapat dari profil keluarga kami. Memang tanggung jawab saya untuk memberikan ruang kehangatan untuk adik berkeluh kesah. Hingga saya hanya mencoba tersenyum dan memotret hasil ujian lalu mengirimkan pada bapak ibuk di rumah. Ekspresi mereka sudah saya tebak, dan saya memilih diam. Adik belum pulang, jadi saya belum bisa mengajaknya mengobrol. Tapi suatu malam, setelah beberapa cekcok rutin di keluarga. Ia sempat menangis sepanjang jalan menuju pondok pesantren, saya mencoba untuk menyampaikan saat ia mulai bertanya

"Mbak, semisal aku ndak jadi sepinter mbak apa bakalan gak dianggap orang yang berguna?"

Sontak mendengar pertanyaan semacam itu, saya tak enak hati. Sebab pola asuh dari keluarga yang sering membandingkan jalan hidup saya dengan adik membuatnya berpikir sejauh ini. Saat itu saya hanya tersenyum dan menepuk pundaknya seraya berkata

"Dik, kamu itu manusia. Bebas menentukan mau jadi bagaimana. Ya, orangtua memang begitu, kita cuma bisa nerima. Tapi jangan sampai kamu berkecil hati, menurut mbak jadi orang biasa itu gak masalah, gak harus jadi yang paling pinter. Mbak yakin kamu punya bakat lain"

Kurang lebih begitu pesan saya malam itu, karena usianya yang menganjak SMA. Ia sudah paham jika saya ajak ngobrol seputar kehidupan keluarga. Terlebih saya juga belajar dari adik untuk bersikap woles seakan-akan dunia sedang baik-aik saja. Ia sosok laki-laki yang lumayan sulit saya pahami, justru saya kerap menceritakan kejadian yang terlewat. Ia hanya menanggapinya dengan santai, tapi saya senang. Begitupun lambat laun saya memberi pengertian bahwasanya apa yang selama ini orangtua saya berikan memang bentuk kasih sayang, tetapi caranya saja yang salah.

Saya yakini bahwa dengan cara ini, lambat laun adik tak akan bernasib sama untuk berpikir keterlaluan terhadap cara didik di masa lalu. Semoga ia tumbuh jadi lelaki yang bertabiat baik, dan legawa. Saya yakinkan lagi suatu waktu pada adik bahwa hidup bukan tentang kompetisi untuk menentukan siapa yang kalah dan menang, tetapi hidup adalah perjalanan panjang yang harus diisi dengan segala cerita. Tak harus jadi luar biasa, bila Tuhan menciptakan untuk jadi biasa agar luar biasa itu ada. Tulisan ini saya dedikasikan kepada seluruh anak sulung yang juga sedang berjuang memberi ruang, teruntuk adik-adik yang pernah menerima kecaman atau kata-kata kasar di masa lalunya. Saya paling benci jika kekerasan dijadikan alat sebagai alasan untuk relasi anak dan orangtua.

Akhir tulisan saya hanya ingin bilang :

Dik, besok pulang kan? Mbak ada sesuatu yang ingin diceritakan. Jangan lupa pulang, keluh kesahmu di tunggu di rumah.

Dari mbakmu.

You Might Also Like

0 komentar

Tentang Batas Teduh di Kota Malang

Photo By IG @anaafitt Sabtu (27/7) berkesempatan untuk mampir dan melipir ke salah satu kafe di Malang. Namanya cukup unik memang, pe...