Ditakuti? Relasi macam apa ini?

Foto : unsplash.com/melaniewasser

Saat bersama keluarga, bapak selalu dapat uring-uringan dari ibu karena sikapnya yang fleksibel dalam mendidik saya dan saudara. Bapak cenderung disenangi ketimbang ibu yang otoriter. Ibu selalu membela bahwa jadi orang tua semestinya harus ditakuti, kalau tidak nanti disepelekan. Begitulah pemaparan ibu saat kami berusaha memberontak dengan caranya mendidik, saya kerap kesal padanya karena selalu menganggap bahwa anak adalah objek yang bisanya cuma manut dengan orangtua, tanpa melihat sisi kemanusiaan untuk bisa menentukan pilihannya sendiri, saling berdialog untuk mengambil jalan tengah. Ibarat hewan leher anak-anak senantiasa dipasang tali kekang. Entah kenapa saat bapak berusaha menasehati dengan jalur damai alias tidak marah-marah, justru membuat saya lebih terima, memandang bahwa tidak semua pendidikan berisi marah - marah.

Sikap bapak yang woles menimbulkan efek segan jika beliau yang tak pernah marah tiba-tiba marah. Tidak seperti melihat ibu yang tiap hari marah, berusaha jadi seperti monster dengan harapannya untuk ditakuti anak. Sebenarnya jadi orangtua tak harus menggunakan cara-cara galak bukankah juga bisa dibenarkan? Entahlah, saya belum tahu rasanya jadi orangtua. Tapi kelak, saya tidak akan mengulang sakit-sakit yang saya terima sewaktu kecil kepada anak - anak di masa depan. Boleh jadi saya lahir dari pernikahan dini, kematangan ibu dalam sisi psikologis belum terlihat dengan cara beliau menilai, mendidik bahkan berkomunikasi dengan anak.
Akhirnya, ketakutan itu membawa saya untuk tidak lekas menikah. Saya tidak paham dengan mereka yang masih menggunakan sistem pendidikan keluarga jalur keras, ditakuti dan diktaktor.

Ironinya, di tempat saya mengajar. Keinginan saya ingin dekat dengan anak-anak terkadang dipandang sebelah mata bentuk ketidak tegasan seorang guru. Sebenarnya kalau mereka dekat dengan kita, kita cukup menegur mereka dengan cara yang sopan, apalagi untuk usia anak SMP mereka pasti tahu tanpa saya harus marah-marah di depan mereka. Tujuan saya hanya ingin menunjukkan bahwa proses belajar dan mendidik itu bukan hal yang mengerikan seperti yang sering ditampakkan di sisi sekolah formal (meski tidak semua). Apalagi pelajaran yang saya ampu adalah matematika, saya berusaha agar mereka tidak jenuh dengan sesekali mengajak mereka mengobrol, atau membiarkan mereka bercerita tentang waktu seharian yg dilalui. Dengan dekat kepada anak-anak saya jadi lebih tahu minat belajar apa yang mereka suka, sehingga saya akan menggunakan cara yang berbeda untuk memberlakukan pembelajaran dari satu anak ke yang lain.

Diluar jam belajar tambahan, saya selalu memantau mereka tetapi tanpa ikut campur, mungkin hanya bertanya sesekali mengenai jadwal les. Terkadang ada guru yang terlalu ikut campur dengan urusan anak, menanya yang menjadi privasinya itu sudah diluar batas.

Jadi, sosok keluarga ataupun guru menurut pengalaman yang saya alami seharusnya bukan untuk ditakuti, tetapi yang mampu mengayomi dengan cara-cara kelembutan. Saya tidak tahu bagaimana nasib anak yang selalu dihadapkan dengan pendidikan keluarga dan guru serba penuh ketakutan. Semoga saja kita semua bisa enyah dari lingkar setan itu dan mengambil hikmah untuk tidak berlaku demikian di hari depan.

Tabik!

You Might Also Like

0 komentar

Tentang Batas Teduh di Kota Malang

Photo By IG @anaafitt Sabtu (27/7) berkesempatan untuk mampir dan melipir ke salah satu kafe di Malang. Namanya cukup unik memang, pe...