Menangis? Apakah saya sedang baik-baik saja

Foto : unsplash.com/KatJ

Sudah tidak terhitung berapa banyak duit tangis yang saya hasilkan tiap malam, kegiatan menangis sendirian ini semakin dirasa parah justru saat saya tumbuh dewasa, banyak orang mulai terlihat memuakkan, dan mudah menyakiti. Saya benci menjadi dewasa jika pada akhirnya harus tahu kebusukan yang dibungkus dengan manis, banyak topeng-topeng yang manusia pakai untuk membuatnya tetap disebut ada.

Kekecewaan ini akhirnya membuat saya sering tak tahu harus bagaimana, dan akhirnya menangis tiba-tiba. Padahal pagi, siang, dan sore tadi saya masih haha hehe tanpa beban apa-apa. Apakah saya terlalu terlihat sok tegar, sehingga perasaan yang justru lama-lama dihimpit itu tidak terima? Entahlah, hingga detik saya menulis keluh kesah disini masih sama, kosong dan tak tahu harus bagaimana. Kerap kali kepercayaan saya diciderai, akhirnya membuat kesusahan untuk meyakinkan diri percaya kepada orang lain. Saya akhirnya tidak menemukan alasan kenapa harus percaya pada oranglain, jika akhirnya saya kembali berbenah tabah untuk resiko dikhianati.

Saya skeptis terhadap uluran tangan oranglain, saya pura-pura baik-baik saja, padahal sebenarnya mungkin saya kesepian tetapi memilih diam karena tidak menemukan sosok yang bisa dipercaya lagi. Lagu-lagu melow jadi teman untuk menuntaskan jatah air mata yang disediakan Tuhan, saya tuntaskan untuk ritual menangis dengan lega. Setelahnya saya merasa ya sudah, saya butuh menangis memang. Kalau orang lain bilang menangis terlihat seperti lemah, tetapi mungkin bagi saya menangis seperti terapi, air mata yang mengalir bak penyesalan di masa lalu, deras mengalir di pipi. Saya belum begitu yakin untuk mencintai diri sendiri, terkadang juga masih bimbang ketika menemukan atau menentukan bagaimana cara mencintainya? Apakah dengan sekadar menerima? Atau bagaimana?

Saya sudah coba berbagai cara untuk meredam tangis sebenarnya, karena terkadang terapi dengan menangis membuat capek juga. Saya coba menulis di berbagai kertas lalu saya kumpulkan, dengan cara ini emosi-emosi yang diluapkan terwakilkan dengan tulisan dalam kertas warna warni. Kertas itu saya kumpulkan dalam toples dengan tulisan self healing. Mungkin suatu saat saya akan menengoknya saat sudah benar-benar menemukan cara mencintai diri sendiri. Menulis, menulis, saat suara saya yang lantang justru tak begitu digubris, blog pribadi, tumblr, atau akun twitter jadi tempat paling lapang untuk menaruh kerisauan hati saya. Saya sudah tidak begitu peduli saat seseorang mengatakan bahwa perilaku yang saya lakukan diatas terkesan lebay atau bagaimana, mulutnya memang pantas untuk dijejal kehidupan yang saya alami, atau otaknya memang tak pernah tersisip empati, begitu cara saya meredam komentar oranglain yang kerap membuat pedas di mata hati.

Saya terus bergulat dengan membaca, menemukan orang-orang yang saling mendukung bukan merundung, bertemu orang yang kerap menanya keadaan saya, dan kini lebih mengurangi intensitas bertemu orang-orang yang sudah merusak janji, atau kepercayaan. Karena saya sudah capek untuk mengikuti alur dibohongi, lalu ditinggalkan. Kini daftar kontak di handphone sudah sering terkurangi, seiring waktu berjalan waktu akan menyisakan orang yang menetap dan melepaskan mereka yang memutuskan pergi. Entahlah, perasaan saya malam ini sedang tidak karuan. Bersalah, bersalah dan bersalah pada diri sendiri terus bermunculan di benak.

Sudah dulu, jika ada perempuan atau lelaki lain yang pernah merasakan kerisauan seperti diatas, boleh ajak saya untuk menemukan dimana saya harus berpijak atau berpulang ke perasaan bahagia dan tenang. Tabik!

You Might Also Like

0 komentar

Tentang Batas Teduh di Kota Malang

Photo By IG @anaafitt Sabtu (27/7) berkesempatan untuk mampir dan melipir ke salah satu kafe di Malang. Namanya cukup unik memang, pe...