Kritikan Adalah Jamu Bagi Penulis
Photo by Aaron Burden on Unsplash
Kapan hari, saya sempat
mendapat kritikan pedas dari seorang ketua di organisasi saya berkecimpung.
Berita yang saya tulis kurang menggunakan retorika kata, kurang hiperbola dan
beberapa kritikan lain. Saya hanya tertawa dan mengiyakan, ini tidak kali pertama
saya dikritik menyoal penulisan berita memang. Jadi saya menanggapinya dengan
legawa, karena sedari awal saya menulis harus siap dengan segala respon
pembaca. Baik positif maupun negatif, tetapi ini tak lantas membuat saya
berhenti begitu saja. Karena, menulis adalah tugas kehidupan yang terus, dan
akan terus saya jalankan. Seburuk apapun tulisan saya dibaca oranglain, saya
menikmati proses untuk melahirkan tulisan yang mengasyikkan dibaca siapapun.
Saya yakin bahwasanya mereka para penulis yang kini namanya terpampang di koran, atau toko buku tak hanya lahir dengan tiba-tiba menulis dengan baik. Suka, duka, cerca dan berbagai ujian pasti dilalui. Dari situlah saya belajar untuk tidak patah saat komentar pedas semacam itu saya terima. Karena, komentar pedas itu tidak akan jadi apa-apa saat saya hanya diam, justru hal ini bisa saya jadikan bahan tulisan atau pelajaran untuk terus lebih banyak belajar lagi.
Saya yakin bahwasanya mereka para penulis yang kini namanya terpampang di koran, atau toko buku tak hanya lahir dengan tiba-tiba menulis dengan baik. Suka, duka, cerca dan berbagai ujian pasti dilalui. Dari situlah saya belajar untuk tidak patah saat komentar pedas semacam itu saya terima. Karena, komentar pedas itu tidak akan jadi apa-apa saat saya hanya diam, justru hal ini bisa saya jadikan bahan tulisan atau pelajaran untuk terus lebih banyak belajar lagi.
Saya suka jamu, meski
pahit faedahnya baik untuk kesehatan. Begitulah kira-kira perumpamaan komentar
pedas dengan jamu. Saya teguk hingga tak bersisa, biarkan komentar itu saya
telan hingga berefek jadi bahan tulisan. Jika dilihat dari berapa lama saya
berkecimpung di dunia tulis menulis, masih dinilai terlalu dini untuk dikatakan
ahli. Sebab waktu adalah guru kehidupan, semakin lama kita bergulat di dunia
tulis menulis dan terus mengasah kemampuan. Bagi saya menulis tak sekadar
menulis, diposting, tenar, bisa menerbitkan buku, bukan. Menulis sekali lagi
adalah tugas kehidupan yang terus akan saya kerjakan meski tak harus melewati
fase dikenal orang sekalipun, karena tulisan-tulisan sayalah yang akan terus
hidup di zaman kapanpun.
Saya cukup cemas di hari depan bila anak-cucu tidak bisa memahami kondisi di masa lalu tanpa adanya sebuah tulisan. Itu tugas saya di masa kini untuk terus bersuara secara lantang melalui tulisan, blog adalah ladang saya dan apa yang dimuat didalamnya adalah tumbuh-tumbuhan atau pepohonan yang kelak bisa dijadikan anak-cucu sebagai bahan pelajaran. Jiwa akan menua, ragapun akan kembali kepada sang pencipta. Tetapi tulisan akan lekang, hidup sepanjang usia. Menemani kehidupan manusia di fase apapun. Begitulah saya terus menyemangati diri untuk menulis, jadi kenapa saya memilih menulis dengan gaya saya sendiri, karena bagi saya diterima masyarakat atau tenar bukan tujuan utama saya. Itu semua bonus, syukur-syukur jika kelak lahir jadi buku. Tetapi kewajiban saya tetap kewajiban, jika diberi kesempatan terbit saya juga akan tetap bersyukur. Berarti oranglain menikmati tulisan saya, jika tidak juga tidak masalah.
Saya cukup cemas di hari depan bila anak-cucu tidak bisa memahami kondisi di masa lalu tanpa adanya sebuah tulisan. Itu tugas saya di masa kini untuk terus bersuara secara lantang melalui tulisan, blog adalah ladang saya dan apa yang dimuat didalamnya adalah tumbuh-tumbuhan atau pepohonan yang kelak bisa dijadikan anak-cucu sebagai bahan pelajaran. Jiwa akan menua, ragapun akan kembali kepada sang pencipta. Tetapi tulisan akan lekang, hidup sepanjang usia. Menemani kehidupan manusia di fase apapun. Begitulah saya terus menyemangati diri untuk menulis, jadi kenapa saya memilih menulis dengan gaya saya sendiri, karena bagi saya diterima masyarakat atau tenar bukan tujuan utama saya. Itu semua bonus, syukur-syukur jika kelak lahir jadi buku. Tetapi kewajiban saya tetap kewajiban, jika diberi kesempatan terbit saya juga akan tetap bersyukur. Berarti oranglain menikmati tulisan saya, jika tidak juga tidak masalah.
Bagian kehidupan dari
proses menulis ya salah satunya dikomentari, setiap jengkal kehidupan kita tak
akan lepas dari komentar oranglain. Tergantung bagaimana kita mau menanggapi
komentar mereka, baik positif atau negatif tetap diterima sebagai bahan
pembelajaran. Toh, kalau mau menuruti omongan orang, kita yakin tidak akan
mampu. Sebagai penulis sebaiknya pahami betul seberapa penting kamu memaknai
proses menulis. Setiap penulis memang punya tujuan berbeda, tak lantas
perbedaan itu jadi bahan mencela, tapi justru jadi bahan pembelajaran lagi.
Hidup adalah proses belajar, dari mulai lahir hingga tutup usia. Kita semua
punya kewajiban untuk terus belajar dari masalah-masalah hidup yang menerpa. Terima
kasih untuk orang-orang yang membuat saya belajar, baik dengan memberi komentar
pedas atau pelukan hangat. Kalian semua membuat hidup saya menjadi berwarna,
nama-nama kalian akan tetap saya ingat, karena dengan itu saya akan terus
tumbuh. Terima kasih pula do’a-do’a lantang atau sunyi yang dialamatkan kepada
saya, semoga diaminkan kembali secara serius oleh penghuni langit, amin. Tabik!
0 komentar